Ber-Islam Tak Perlu Kejam (Radikal)





0
6

Saat saya masih kecil (sekitar tahun 90-an), aktivitas ngaji di langgar setiap habis maghrib selalu menjadi idola. Orang begitu bergairah dan betah ngobrol (berbincang) di langgar sehabis sholat fardhu. Rasanya tidak ingin pulang. Mulai anak-anak, orang tua, muda-mudi berkumpul syahdu tanpa diselimuti rasa iri, dengki, saling curiga, apalagi benci. Pembicaraan tetang aliran, kelompok, mazhab tidak terdengar.
Kita coba bandingkan dengan era kini (bapak/ibu modern). Saat anaknya begitu rajin ke masjid, apalagi ikut berbagai kajian majelis taklim, mereka akan sangat khawatir. Jangan-jangan terjerumus kelompok (aliran) tertentu. Hingga akhirnya anak dilarang bermain/sekolah di pondok, konon tempat itu (masjid dan pondok) adalah tempat terlarang, sarang teroris, dan wilayah kelompok Islam garis keras berkumpul, katanya.
Penulis mencoba menilisik kembali apa yang menyebabkan Islam tidak lagi mendamaikan dan menentramkan. Justruk Islam identik dengan kolot, puritan, radikal, dan lainnya.
Pertama, memaksa semua manusia masuk Islam. Kita perlu mengingat sejarah dan firman Allah bahwa misi utama Rasulullah bukan untuk meng-Islam-kan dunia. Jika hanya ingin meng-Islam-kan seluruh dunia, Allah tidak membutuhkan nabi Muhammad. Karena ia sendiri telah berfirman “Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?”[1].
Jelaslah bahwa misi seorang pendakwah bukan memaksa seseorang masuk Islam, mengikuti fatwa/tafsirnya, apalagi mengikuti pilihan partai politik yang ia gawangi. Sejak awal Al-Qur’an telah menegaskan tidak ada paksaan dalam beragama. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menambahkan: barangsiapa dibukakan pintu hatinya oleh Allah maka mereka akan memeluk Islam. Barang siapa dikunci hati, pendengaran dan penglihatannya maka mereka tidak akan mendapat manfaat jikalau dipaksa masuk Islam. Tafsir ini diperkuat dengan tafsir Fi Zhilalil Qur’an (1982) karya Sayyid Quthb bahwa manusia telah diberi tanggung jawab untuk memilih jalannya sendiri, dan mereka pula lah yang akan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut.
Jika memang seseorang ingin mendakwahkan ajaran Islam ia boleh menyampaikan dengan tiga syarat: hikmah, mauizah khazanah (nasehat/pelajaran) yang baik, dan kalau harus berdebat bantahlah dengan argumentasi yang lebih baik[2]. Tidak perlu dalam berdakwa sampai menghina, mencaci, menjelekkan, kepercayaan agama lain.

Komentar

Postingan Populer